Iman menurut bahasa adalah membenarkan. Adapun menurut
istilah syari’at yaitu meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan
membuktikannya dalam amal perbuatan yang terdiri dari tujuh puluh tiga hingga
tujuh puluh sembilan cabang. Yang tertinggi adalah ucapan لاَ اِلَهَ اِلاَّ لله dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan yang
menggangu orang yang sedang berjalan, baik berupa batu, duri, barang bekas,
sampah, dan sesuatu yang berbau tak sedap atau semisalnya.
Rasulullah Shallahu’alaihi wa sallam bersabda,
”Iman lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang,
paling utamanya perkataan لاَ اِلَهَ اِلاَّ لله dan
yang paling rendahnya menyingkirkan gangguan dari jalan, dan malu merupakan
cabang dari keimanan.” (Riwayat Muslim: 35, Abu Dawud: 4676, Tirmidzi: 2614)
Secara pokok iman memiliki enam rukun sesuai dengan yang
disebutkan dalam hadist Jibril (Hadist no. 2 pada hadist arba’in an-Nawawi)
tatkala bertanya kepada Nabi Shallahu’alaihi wa sallam tentang iman, lalu
beliau menjawab,
”Iman adalah engkau percaya kepada Allah, para
malaikatNya, kitab-kitabNya, para rasulNya, hari akhir, dan percaya kepada
taqdirNya, yang baik dan yang buruk.” (Mutafaqqun ‘alaihi)
Adapun cakupan dan jenisnya, keimanan mencakup seluruh
bentuk amal kebaikan yang kurang lebih ada tujuh puluh tiga cabang. Karena itu
Allah menggolongkan dan menyebut ibadah shalat dengan sebutan iman
dalam
firmanNya,
”Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu” (QS.
Al-Baqarah:143)
Para ahli tafsir menyatakan, yang dimaksud ’imanmu’
adalah shalatmu tatkala engkau menghadap ke arah baitul maqdis, karena sebelum
turun perintah shalat menghadap ke Baitullah (Ka’bah) para sahabat mengahadap
ke Baitul Maqdis.
IMAN KEPADA ALLAH
Iman kepada Allah adalah mempercayai bahwa Dia itu maujud
(ada) yang disifati dengan sifat-sifat keagungan dan kesempurnaan, yang suci
dari sifat-sifat kekurangan. Dia Maha Esa, Mahabenar, Tempat bergantung para
makhluk, tunggal (tidak ada yang setara dengan Dia), Pencipta segala makhluk,
Yang melakukan segala yang dikehendakiNya, dan mengerjakan dalam kerajaanNya
apa yang dikehendakiNya. Beriman kepada Allah juga bisa diartikan, berikrar
dengan macam-macam tauhid yang tiga serta beri’tiqad (berkeyakinan) dan beramal
dengannya yaitu tauhid rububiyyah, tauhid uluhiyyah dan tauhid al-asma’ wa
ash-shifaat.
Iman kepada Allah mengandung empat unsur:
1. Beriman akan adanya Allah.
Mengimani adanya Allah ini bisa dibuktikan dengan:
(a). Bahwa manusia mempunyai fitrah mengimani adanya
Tuhan
Tanpa harus di dahului dengan berfikir dan sebelumnya.
Fitrah ini tidak akan berubah kecuali ada sesuatu pengaruh lain yang mengubah
hatinya. Nabi Shallahu’alaihi wa sallam bersabda:
”Tidaklah anak itu lahir melainkan dalam keadaan fitrah,
kedua orangtuanya lah yang menjadikan mereka Yahudi, Nashrani, atau Majusi.”
(HR. Bukhori)
Bahwa makhluk tersebut tidak muncul begitu saja secara
kebetulan, karena segala sesuatu yang wujud pasti ada yang mewujudkan yang
tidak lain adalah Allah, Tuhan semesta alam. Allah berfirman,
”Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka
yang menciptakan (diri mereka sendiri)?”
(QS. Ath-Thur: 35)
Maksudnya, tidak mungkin mereka tercipta tanpa ada yang
menciptakan dan tidak mungkin mereka mampu menciptakan dirinya sendiri. Berarti
mereka pasti ada yang menciptakan, yaitu Allah yang maha suci.
Lebih jelasnya kita ambil contoh, seandainya ada orang
yang memberitahu anda ada sebuah istana yang sangat megah yang dikelilingi
taman, terdapat sungai yang mengalir di sekitarnya, di dalamnya penuh
permadani, perhiasan dan ornamen-ornamen indah. Lalu orang tersebut berkata
kepada anda, istana yang lengkap beserta isinya itu ada dengan sendirinya atau
muncul begitu saja tanpa ada yang membangunnya. Maka anda pasti segera
mengingkari dan tidak mempercayai cerita tersebut dan anda menganggap ucapannya
itu sebagai suatu kebodohan.
Lalu apa mungkin alam semesta yang begitu luas yang
dilengkapi dengan bumi, langit, bintang, dan planet yang tertata rapi, muncul
dengan sendirinya atau muncul dengan tiba-tiba tanpa ada yang menciptakan?
(b). Adannya kitab-kitab samawi
Yang membicarakan tentang adanya Allah. Demikian pula
hukum serta aturan dalam kitab-kitab tersebut yang mengatur kehidupan demi
kemaslahatan manusia menunjukkan bahwa kitab-kitab tersebut berasal dari Tuhan
Yang Maha Esa.
(c). Adanya orang-orang yang dikabulkan do’anya.
Ditolongnya orang-orang yang sedang mengalami kesulitan,
ini menjadi bukti-bukti kuat adanya Allah. Allah berfirman:
”Dan (ingatlah kisah) Nuh, sebelum itu ketika dia berdoa,
dan kami memperkenankan doanya, lalu kami selamatkan dia beserta keluarganya
dari bencana yang besar.” (QS. Al-Anbiya’: 76)
(d). Adanya tanda-tanda kenabian seorang utusan
Yyang disebut mukjizat adalah suatu bukti kuat adanya
Dzat yang mengutus mereka yang tidak lain Dia adalah Allah Azza wa Jalla.
Misalnya: Mukjizat nabi Musa ’Alahissalam. Tatkala belau
diperintah memukulkan tongkatnya ke laut sehngga terbelahlah lautan tersebut
menjadi dua belas jalan yang kering dan air di antara jalan-jalan tersebut
laksana gunung. Firman Allah,
”Lalu kami wahyukan kepada Musa: “Pukullah lautan itu
dengan tongkatmu”. Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah
seperti gunung yang besar” (QS. Asy-Syu’ara’: 63)
Contoh lain adalah mukjizat yang diberikan kepada nabi
Isa ’Alaihissalam berupa membuat burung dari tanah, menyembuhkan orang buta
sejak lahirnya dan penyakit sopak (sejenis penyakit kulit), menghidupkan orang
mati dan mengeluarkan dari kuburannya atas izin Allah. Allah berfirman:
“Sesungguhnya Aku Telah datang kepadamu dengan membawa
sesuatu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu Aku membuat untuk kamu dari tanah
berbentuk burung; Kemudian Aku meniupnya, Maka ia menjadi seekor burung dengan
seizin Allah; dan Aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya dan
orang yang berpenyakit sopak; dan Aku menghidupkan orang mati dengan seizin
Allah; dan Aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan
di rumahmu. ” (QS. Ali Imran: 49)
2. Mengimani sifat rububiyah Allah (Tauhid Rububiyah)
Yaitu mengimani sepenuhnya bahwa Allah-lah memberi rizki,
menolong, menghidupkan, mematikan dan bahwasanya Dia itu adalah pencipta alam
semesta, Raja dan Penguasa segala sesuatu.
3. Mengimani sifat uluhiyah Allah (Tauhid Uluhiyah)
Yaitu mengimani hanya Dia lah sesembahan yang tidak ada
sekutu bagi-Nya, mengesakan Allah melalui segala ibadah yang memang
disyariatkan dan diperintahkan-Nya dengan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu
apapun baik seorang malaikat, nabi, wali maupun yang lainnya.
Tauhid rububiyah saja tanpa adanya tauhid uluhiyah belum
bisa dikatakan beriman kepada Allah karena kaum musyrikin pada zaman Rasulullah
Shallahu’alaihi wa sallam juga mengimani tauhid rububiyah saja tanpa mengimani
tauhid uluhiyah, mereka mengakui bahwa Allah yang memberi rizki dan mengatur
segala urusan tetapi mereka juga menyembah sesembahan selain Allah.
Allah berfirman,
“Katakanlah: ‘Siapakah yang memberi rizki kepadamu, dari
langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan
penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan yang
mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala
urusan.’ Maka, mereka men-jawab: ‘Allah.’ Maka, katakanlah: ‘Mengapa kamu tidak
bertaqwa (kepada-Nya)?’ (QS. Yusuf: 31-32)
Dan Allah berfirman,
“Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada
Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan
lain ).” (QS. Yusuf : 106)
4. Mengimani Asma’ dan Sifat Allah (Tauhid Asma’ wa
Sifat)
Yaitu menetapkan apa-apa yang Allah dan RasulNya telah
tetapkan atas diriNya baik itu berkenaan dengan nama-nama maupun sifat-sifat
Allah, tanpa tahrif, dan ta’thil,serta tanpa takyif,dan tamtsil..
Dua Prinsip dalam meyakini sifat Allah Subhanahu wa
ta’ala,
Allah Subhanahu wa ta’ala wajib disucikan dari semua
sifat-sifat kurang secara mutlak, seperti ngantuk, tidur, lemah, bodoh, mati,
dan lainnya.
Allah mempunyai nama dan sifat yang sempurna yang tidak
ada kekurangan sedikit pun juga, tidak ada sesuatu pun dari makhluk yang
menyamai Sifat-Sifat Allah.
Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata: “Allah juga
memiliki tangan, wajah dan diri seperti disebutkan sendiri oleh Allah dalam
al-Qur’an. Maka apa yang disebutkan oleh Allah tentang wajah, tangan dan diri
menunjukkan bahwa Allah mempunyai sifat yang tidak boleh direka-reka bentuknya.
Dan juga tidak boleh disebutkan bahwa tangan Allah itu artinya kekuasaan-Nya
atau nikmat-Nya, karena hal itu berarti meniadakan sifat-sifat Allah,
sebagaimana pendapat yang dipegang oleh ahli qadar dan golongan Mu’tazilah.
Beliau juga berkata: “Allah tidak serupa dengan
makhluk-Nya, dan makhluk-Nya juga tidak serupa dengan Allah. Allah itu tetap
akan selalu memiliki nama-nama dan sifat-sifat-Nya.
Allah berfirman,
”Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia.” (QS.
Asy-Syuura’: 11)
Buah beriman kepada Allah
Beriman kepada Allah secara benar sebagaimana digambarkan
akan membuahkan beberapa hasil yang sangat agung bagi orang-orang beriman,
diantaranya:
Merealisasikan pengesaan kepada Allah sehingga tidak
menggantungkan harapan kepada selain Allah, tidak takut, dan tidak menyembah
kepada selain-Nya.
Menyempurnakan kecintaan terhadap Allah, serta
mengagungkan-Nya sesuai dengan kandungan makna nama-nama-Nya yang indah dan
sifat-sifat-Nya Yang Agung.
Merealisasikan ibadah kepada Allah dengan mengerjakan apa
yang diperintah serta